Indonesia masih Jauh dari Siap Garap Industri Mobil Listrik
3 min read
MOBLIS.ID – Industri otomotif merupakan salah satu penyumbang emisi GRK terbesar di Indonesia. Tercatat sebesar 27% menjadikannya sebagai penghasil emisi terbesar kedua.
Sekitar 10.000 mobil listrik dijual di Indonesia pada tahun 2022. Sebagai bagian dari peta jalan kendaraan listrik, negara ini berupaya menjadi pasar kendaraan listrik yang besar pada tahun 2030. Menariknya, negara ini memiliki salah satu cadangan nikel terbesar di dunia, yang merupakan komponen penting dari perekonomian.
Sel baterai lithium-ion mendorong revolusi mobil listrik (electric vehicle/EV). Hal ini memberikan negara ini keuntungan strategis yang besar dalam ekspansi kendaraan listrik, dan Indonesia berencana memproduksi 600.000 kendaraan listrik di dalam negeri per tahun. Untuk mencapai hal ini, pemerintah Indonesia telah memperkenalkan berbagai insentif, seperti Daftar Investasi Positif (PIL), yang menjanjikan sejumlah insentif bagi perusahaan yang melakukan investasi di bidang kendaraan listrik.
Sejak tahun 2013, pemerintah Indonesia telah memperkenalkan insentif untuk mendukung xEVs (BEVs, PHEVs, dan HEVs) melalui program Kendaraan Emisi Karbon Rendah (LCEV) dan Peraturan Presiden No. 55/2019, yang bertujuan untuk mengembangkan sistem end-to-end rantai pasokan EV. Pemerintah sesuai Peraturan Kementerian Perindustrian No. 6/2022, juga telah menetapkan target nasional 600 ribu kendaraan roda empat listrik bertenaga baterai (e4W) dan 2,45 juta e2W pada tahun 2030.
Insentif kendaraan listrik mencakup kemudahan pengadaan izin, ditambah dengan pajak yang menguntungkan. Insentif seperti tarif 0% untuk kendaraan mewah yang mematuhi standar teknologi net-zero-emissions. Pemerintah telah mengurangi PPN atas kendaraan listrik menjadi 1% dari 11%, sehingga harga awal, misalnya, Hyundai IONIQ 5 menjadi di bawah US$45.000 dari sebelumnya US$51.000.
Namun, penentuan posisi harga ini masih belum cukup baik bagi banyak calon pembeli kendaraan listrik di negara tersebut, dengan PDB per kapita sebesar US$7.500. Berdasarkan laporan Indeks Kesiapan Mobilitas Listrik Global (GEMRIX) 2023 oleh Arthur D Little (ADL), mobilisasi sangat rendah dibandingkan internasional. Dalam banyak kasus, langkah pertama sebelum mengadopsi mobil penumpang listrik adalah e2W atau e3W.
Posisi teratas sebagai negara paling siapa adalah Norwegia dengan indeks 117. Berikutnya adalah Cina (98), Jerman (85), Singapura (81), Inggris (79), Hong Kong (57), Uni Emirat Arab (57), Amerika Serikat (55), Qatar (54), dan Selandia Baru (53). Yang ironis, Jepang hanya mampu menempati urutan 11 dengan skor 48). Di bawah Jepang ada Israel (47), Yordania (46), Kuwait (46), Australia (46), dan India (44).
Thailand menempati posisi ke-17 dengan skor 44. Di bawah Thailand ada Bahrain (43), Oman (43), Aljazair (42), lalu Indonesia (40).
Meski demikian, posisi Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan Maroko (38), Arab Saudi (38), Malaysia (35), Turki (35), Vietnam (34), Meksiko (33), Mesir (32), Lebanon (31), Brasil (30), Panama (29), Kosta Rika (28), Irak (28), Filipina (28), dan Afrika Selatan (20).
Salah satu permasalahannya adalah tingginya bea masuk kendaraan. Unit yang sudah jadi (CBU) dikenakan bea masuk sebesar 50%, sedangkan kendaraan yang sudah dirobohkan (CKD) masih dikenakan tarif 10% dari nilai.
Selain itu, Indonesia juga sedang menyaksikan urbanisasi yang agresif dan meningkatnya jumlah generasi muda di antara penduduknya. Oleh karena itu, lingkungannya kondusif bagi ekspansi kendaraan listrik yang pesat; tetap saja, perlu ada pemasukan modal, waktu, dan upaya yang konsisten. Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Indonesia membutuhkan US$35 miliar untuk membangun dan meningkatkan ekosistem kendaraan listriknya.
Tantangan seputar infrastruktur pendukung di Indonesia masih ada. Hingga akhir tahun 2022, baru 439 unit pengisian daya yang dibangun di 328 lokasi. Sebaliknya, 960 stasiun penukaran baterai yang menjanjikan untuk e2W telah disiapkan. Harga bahan bakar tradisional lebih rendah dibandingkan pasar lain.
Oleh karena itu, keekonomian kendaraan listrik masih belum meyakinkan banyak orang untuk membelinya. Pada saat yang sama, mengingat keunggulan strategis dari cadangan nikel, insentif pemerintah, dan minat investor swasta, Indonesia siap untuk mencapai pertumbuhan yang kuat di sektor kendaraan listrik.
Toyota Indonesia, misalnya, telah mengumumkan investasi sebesar US$1,8 miliar dalam perakitan kendaraan listrik, sementara LG telah berkomitmen sebesar US$9,8 miliar untuk pembuatan sel baterai kendaraan listrik, sehingga memungkinkan LG untuk mendapatkan manfaat besar dari insentif PIL. *